(Kisah ini dikutip dari buku "Orang Buta yang Membawa Lentera" yang ditulis oleh D.L.Moody yang akan menjadi perenungan kita)
Seorang yang berkebangsaan Inggris mempunyai anak semata wayang. Sayangnya, anak itu terlalu dimanja dan disayang. Maka ia menjadi sangat keras kepala dan tegar tengkuk, dan sangat sering bertengkar dengan ayahnya. Suatu hari ayah dan anak itu bertengkar, hingga mereka sangat marah seorang kepada yang lain. Sang ayah sampai tega mengusir anaknya dan tidak boleh kembali lagi. Putranya pun mengatakan bahwa ia akan pergi dari rumah, dan tidak akan pernah kembali ke rumah ayahnya lagi, sampai sang ayah memintanya pulang. Ayahnya menjawab bahwa ia tidak akan pernah meminta anaknya pulang lagi.
Kemudian, pergilah anak itu. Walau sang ayah melepas anaknya, tentu sang ibu tidak merelakannya. Kaum ibu pasti mengerti perasaan wanita itu, kaum ayah mungkin kurang dapat menyelaminya. Anda tahu bahwa di muka bumi ini tidak ada kasih yang sekuat kasih seorang ibu. Banyak hal yang dapat memisahkan seorang pria dari istrinya; tetapi di seluruh dunia tidak ada satu hal pun yang dapat memisahkan seoarang ibu yang sejati dari anaknya. Seorang ibu yang sejati tidak akan pernah membuang anaknya.
Sang ibu lalu mulai menyurati putranya dan memohon agar anak itu mau menulis surat lebih dulu kepada ayahnya agar sang ayah mengampuninya. Namun, ia menjawab, "Aku tidak akan pulang sampai Ayah sendiri yang memintaku pulang." Kemudian, sang ibu memohon kepada sang ayah pula, tetapi suaminya menjawab, "Tidak, aku tidak akan pernah memintanya pulang."
Akhirnya sang ibu jatuh sakit, karena hancur hatinya. Ketika dokter menyatakan bahwa ia akan meninggal, sang suami sangat ingin memenuhi permintaan terakhirnya. Ia ingin tahu apakah ada sesuatu yang bisa ia perbuat sebelum istrinya meninggal. Sang istri memandang suaminya, dan suaminya mengerti maksud di balik tatapan matanya. Lalu berujarlah ia, "Ya, ada satu hal terakhir yang bisa kaulakukan. Kau bisa meminta putraku pulang. Hnaya itu satu-satunya permintaanku yang mesti kaupenuhi. Siapa lagi selain engkau yang dapat mengasihi dan mengasihaninya jika aku sudah meninggal?
"Baiklah," jawab suaminya, "aku akan mengirim kabar bahwa engkau ingin bertemu dengannya."
"Tidak," istrinya menjawab, "kau tahu ia tak akan datang karena aku. Aku hanya bisa bertemu dengannya, jika kau yang memintanya pulang."
Akhirnya, sang ayah pergi ke kantornya dan menulis surat atas namanya sendiri, meminta agar putranya pulang. Setelah menerima surat, anaknya segera berangkat untuk melihat ibunya yang sedang sekarat. Ketika membuka pintu, ia menemukan ibunya sedang sekarat, dan sang ayah duduk disebelah ranjangnya.
Sang ayah mendengar pintu dibuka, dan melihat putranya. Bukannya mendatanginya, ia malah menghindar dan menolak berbicara dengan putranya. Sang ibu mencium putranya dan memohon padanya, "Putraku, sekarang bicaralah dengan ayahmu. Mulailah bicara terlebih dulu, maka semuanya akan selesai."
Namun, putranya berkata, "Tidak, Ibu, aku tidak mau bicara kalau Ayah tidak bicara kepadaku lebih dulu." Sang istri menggenggam tangan suaminya di tangan yang satu dan putranya di tangan yang lain. Ia menggunakan saat-saat terakhirnya di bumi dengan berusaha mendamaikan mereka. Saat ia hendak meregang nyawa - ia tak mampu lagi berkata-kata - ia menaruh tangan putranya yang suka melawan itu ke tangan sang ayah, dan ia pun meninggal!
Putranya memandang ibunya, dan sang suami memandang istrinya. Akhirnya, terbukalah hati sang ayah, lalu merentangkan kedua lengannya, dan memeluk anaknya itu dengan segenap hati. Mereka diperdamaikan dengan jenazah itu. Wahai orang berdosa, ini sebuah ilustrasi sederhana tentang pendamaian antara orang berdosa dan Allah. Ini terjadi karena Allah tidak sedang marah kepada Anda. Ia tidak pemarah dan keras kepala seperti sang ayah tadi kepada putranya. Ia rindu untuk mengampuni.
Saya membawa Anda kepada tubuh Kristus yang telah mati. Saya meminta Anda memandang luka-luka di tangan dan kaki-Nya, dan pada lambungnya. Saya bertanya kepada Anda, "Apakah Anda tidak ingin didamaikan dengan Allah, Bapa Anda di surga?"
Ketika membaca kisah ini saya teringat akan pembacaan formulir liturgis persiapan perjamuan kudus yang sering dibacakan sebelum minggu perjamuan kudus atau sebelum perjamuan kudus. Didamaikan dengan Allah... saya menjadi terenyuh dan menyadari kembali bahwa begitu besar kasih Allah Bapa pada saya. Entah berapa banyak saya telah mengecewakan Bapa saya atas dosa2 yang telah saya buat, bahkan dosa yang sama bisa berulang-ulang kembali, dan Bapa pun berulang-ulang kali mengampuni saya. Kisah ini pun mengajarkanku untuk juga mengampuni orang lain, untuk menjadi pembawa damai bagi orang lain supaya orang lain juga bisa merasakan kasih Allah.
Seorang yang berkebangsaan Inggris mempunyai anak semata wayang. Sayangnya, anak itu terlalu dimanja dan disayang. Maka ia menjadi sangat keras kepala dan tegar tengkuk, dan sangat sering bertengkar dengan ayahnya. Suatu hari ayah dan anak itu bertengkar, hingga mereka sangat marah seorang kepada yang lain. Sang ayah sampai tega mengusir anaknya dan tidak boleh kembali lagi. Putranya pun mengatakan bahwa ia akan pergi dari rumah, dan tidak akan pernah kembali ke rumah ayahnya lagi, sampai sang ayah memintanya pulang. Ayahnya menjawab bahwa ia tidak akan pernah meminta anaknya pulang lagi.
Kemudian, pergilah anak itu. Walau sang ayah melepas anaknya, tentu sang ibu tidak merelakannya. Kaum ibu pasti mengerti perasaan wanita itu, kaum ayah mungkin kurang dapat menyelaminya. Anda tahu bahwa di muka bumi ini tidak ada kasih yang sekuat kasih seorang ibu. Banyak hal yang dapat memisahkan seorang pria dari istrinya; tetapi di seluruh dunia tidak ada satu hal pun yang dapat memisahkan seoarang ibu yang sejati dari anaknya. Seorang ibu yang sejati tidak akan pernah membuang anaknya.
Sang ibu lalu mulai menyurati putranya dan memohon agar anak itu mau menulis surat lebih dulu kepada ayahnya agar sang ayah mengampuninya. Namun, ia menjawab, "Aku tidak akan pulang sampai Ayah sendiri yang memintaku pulang." Kemudian, sang ibu memohon kepada sang ayah pula, tetapi suaminya menjawab, "Tidak, aku tidak akan pernah memintanya pulang."
Akhirnya sang ibu jatuh sakit, karena hancur hatinya. Ketika dokter menyatakan bahwa ia akan meninggal, sang suami sangat ingin memenuhi permintaan terakhirnya. Ia ingin tahu apakah ada sesuatu yang bisa ia perbuat sebelum istrinya meninggal. Sang istri memandang suaminya, dan suaminya mengerti maksud di balik tatapan matanya. Lalu berujarlah ia, "Ya, ada satu hal terakhir yang bisa kaulakukan. Kau bisa meminta putraku pulang. Hnaya itu satu-satunya permintaanku yang mesti kaupenuhi. Siapa lagi selain engkau yang dapat mengasihi dan mengasihaninya jika aku sudah meninggal?
"Baiklah," jawab suaminya, "aku akan mengirim kabar bahwa engkau ingin bertemu dengannya."
"Tidak," istrinya menjawab, "kau tahu ia tak akan datang karena aku. Aku hanya bisa bertemu dengannya, jika kau yang memintanya pulang."
Akhirnya, sang ayah pergi ke kantornya dan menulis surat atas namanya sendiri, meminta agar putranya pulang. Setelah menerima surat, anaknya segera berangkat untuk melihat ibunya yang sedang sekarat. Ketika membuka pintu, ia menemukan ibunya sedang sekarat, dan sang ayah duduk disebelah ranjangnya.
Sang ayah mendengar pintu dibuka, dan melihat putranya. Bukannya mendatanginya, ia malah menghindar dan menolak berbicara dengan putranya. Sang ibu mencium putranya dan memohon padanya, "Putraku, sekarang bicaralah dengan ayahmu. Mulailah bicara terlebih dulu, maka semuanya akan selesai."
Namun, putranya berkata, "Tidak, Ibu, aku tidak mau bicara kalau Ayah tidak bicara kepadaku lebih dulu." Sang istri menggenggam tangan suaminya di tangan yang satu dan putranya di tangan yang lain. Ia menggunakan saat-saat terakhirnya di bumi dengan berusaha mendamaikan mereka. Saat ia hendak meregang nyawa - ia tak mampu lagi berkata-kata - ia menaruh tangan putranya yang suka melawan itu ke tangan sang ayah, dan ia pun meninggal!
Putranya memandang ibunya, dan sang suami memandang istrinya. Akhirnya, terbukalah hati sang ayah, lalu merentangkan kedua lengannya, dan memeluk anaknya itu dengan segenap hati. Mereka diperdamaikan dengan jenazah itu. Wahai orang berdosa, ini sebuah ilustrasi sederhana tentang pendamaian antara orang berdosa dan Allah. Ini terjadi karena Allah tidak sedang marah kepada Anda. Ia tidak pemarah dan keras kepala seperti sang ayah tadi kepada putranya. Ia rindu untuk mengampuni.
Saya membawa Anda kepada tubuh Kristus yang telah mati. Saya meminta Anda memandang luka-luka di tangan dan kaki-Nya, dan pada lambungnya. Saya bertanya kepada Anda, "Apakah Anda tidak ingin didamaikan dengan Allah, Bapa Anda di surga?"
Ketika membaca kisah ini saya teringat akan pembacaan formulir liturgis persiapan perjamuan kudus yang sering dibacakan sebelum minggu perjamuan kudus atau sebelum perjamuan kudus. Didamaikan dengan Allah... saya menjadi terenyuh dan menyadari kembali bahwa begitu besar kasih Allah Bapa pada saya. Entah berapa banyak saya telah mengecewakan Bapa saya atas dosa2 yang telah saya buat, bahkan dosa yang sama bisa berulang-ulang kembali, dan Bapa pun berulang-ulang kali mengampuni saya. Kisah ini pun mengajarkanku untuk juga mengampuni orang lain, untuk menjadi pembawa damai bagi orang lain supaya orang lain juga bisa merasakan kasih Allah.
Komentar
Posting Komentar